Senin, 03 Desember 2007

DIVERGEN DAN KONVERGEN (Part 2)


Manusia memiliki dua pola pikir yang fundamental, yaitu secara divergen dan konvergen. Pola pikir konvergen ini dapat diartikan sebagai pola pikir terfokus atau spesifik, sementara pola pikir divergen diartikan sebagai pola pikir yang menyebar atau menjauh. Untuk lebih memahami kedua pola pikir ini, maka akan saya jelaskan melalui contoh sederhana berikut:

Pemicu pola pikir konvergen adalah pertanyaan yang spesifik atau tertutup. Misalkan, menanyakan warna buah, menanyakan nama hewan, menanyakan agama, menanyakan hasil pengurangan atau penjumlahan atau perkalian atau pembagian dan pertanyaan lain yang spesifik. Kemudian sebaliknya untuk pemicu pola pikir divergen, maka pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan yang tidak jelas, atau samar-samar. Misalkan, menanyakan bagaimana cara menaikkan layangan, bagaimana cara membuat sebuah lukisan, bagaimana cara memperoleh pasar untuk sebuah usaha, dan lain sebagainya. Dari contoh diatas maka pemikiran konvergen dikaitkan dengan fokus dan mengarah pada jawaban tertentu. Terpusat pada sasaran akhir merupakan keinginan dasar dari jenis cara berpikir ini. Disisi lain, pemikiran divergen dikaitkan dengan eksplorasi dan kreativitas, terbuka dan bergerak menjauh.

Untuk orang yang bersentuhan dengan dunia pendidikan, dunia kerja pada bidang science dan engineering, maka pola pikir konvergen akan sangat dihargai. Karena pola pikir ini akan terbentuk dengan sendirinya dan tanpa disadari oleh orang tersebut. Sedangkan, orang yang cenderung memiliki pola pikir divergen akan kurang dihargai dalam dunia ini, karena dapat dinilai sebagai orang yang "ngawur". Secara umum, manusia tidak bisa menjalankan kedua pola pikir ini sekaligus secara bersamaan. Akan tetapi, manusia yang memiliki pemahaman terhadap dirinya sendiri, diikuti pemahaman terhadap lingkungan sekitarnya, akan dapat melakukan kontrol terhadap dua pola pikir ini. Tidak selamanya, orang yang berkecimpung dalam dunia science harus berpikir yang pasti dan tidak memikirkan pola pengembangan kedepan atas masalah yang dihadapinya. Dan sebaliknya, tidak selamanya orang yang bekerja di lingkungan yang menuntut inovasi harus berpikir ngelantur terlalu jauh dan tidak memikirkan segi real-nya.

Jumat, 09 November 2007

Berpikir Divergen dan Konvergen

Cara berpikir biasanya tidak diajarkan disekolah. Apa yang harus dipelajari diperjelas melalui penilaian ujian. Sebaliknya, unsur bagaimana berpikir diserahkan kepada kita masing-masing sambil jalan. Biasanya secara tidak sadar orang mengambill pola atau gaya berpikir yang paling disukai dan tetap menggunakan seumur hidup mereka.
Jadi, bagaimana bila kita dapat meningkatkan kinerja berpikir, bukan hanya untuk perorangan, melainkan juga untuk sebuah kelompok? Hasilnya pasti akan sangat hebat.
"Apa yang harus dipikirkan dan apa yang harus diingat adalah cara lama Cara yang baru adalah bagaimana cara berpikir".
Beberapa orang percaya bahwa menerapka terlampau banyak disiplin pendidikan kepada anak-anak yang masih sangat muda akan memberangus potensi mereka dikemudian hari sebagai pemikir dewasa. Mendorong minat yang beragam di bidang musik, seni, dan kegiatan kreatif pada usia dini besar kemungkinan akan menghasilkan otak cerdas yang mampu hidup di dalam lingkungan yang dinamis.

Selasa, 06 November 2007

Study Oriented Vs Anak Bangsat

Saya memasuki dunia kultur yang sangat berbeda ketika menginjakkan kaki di bangku kuliah. Sebelum kuliah saya bersekolah di Bandung, kemudian saya melanjutkan study di Universitas Gadjah Mada pada jurusan Fisika. Fenomena manusia antara Bandung dan Jogjakarta sangat jauh perbedaannya. Irama kota yang santai, sopan, santun, penuh dengan tradisi aseli Indonesia tertanam keras di wajah kota Jogjakarta ini. Jauh halnya dengan Bandung, hidup ala metropolis dengan segala trend yang kerap bermunculan di sana sini.
Tersentak kaget, mungkin iya... Tersentak tertawa di dalam hati juga iya. Proses adaptasi harus tetap di jalankan, mulai dari memandang tingkah laku teman-teman kuliah saya, tutur katanya, cara mereka menanggapi hal yang menurutku tidak tabu menjadi tabu, dan sampai cara mereka menjauhi saya (Mungkin dianggap binatang buas saya ini, hehehehe). Yup, hal itu terjadi begitu saja selama saya menduduki bangku kuliah saya di Jogja. Di jam-jam kosong menunggu jam kuliah berikutnya, biasanya mereka(teman-teman saya yang manis ini) berkumpul dan belajar di sudut-sudut kampus. Sesekali coba kudekati dan membaur sama mereka, tapi mereka begitu selektif untuk memilih teman yang menurut dia mengungtungkan saja. Menguntungkan di sini adalah bisa menjadi guru untuk mata kuliah tertentu misalnya, atau dengan kata lain mempunyai kemampuan otak yang lebih tinggi darinya atau setara untuk berunding bersama. Tapi tidak jarang pula sesekali mereka menyendiri dan berusaha belajar sendiri, hingga tertidur di sudut-sudut kampus. Nah, kalau anda memiliki kategori sebagai berikut:
  1. Ketawa ketiwi di suatu kelompok
  2. Tidak bisa memberikan andil pengetahuan untuk perkuliahan
  3. Punya teman atau organisasi yang membuat anda sibuk
  4. Kerjaan cuman bergaul dan bergaul
  5. dll, banyak siy
Jangan harap anda bisa diterima untuk duduk bareng mereka. Mungkin saya salah satu orang yang memiliki kriteria di atas. Hehehehehehe...
Tapi, ini bukan sebuah masalah besar dalam masa study saya di bangku kuliah. Saya adalah orang yang super iseng. Saya sering ikut-ikutan ngumpul, berusaha masuk dengan mereka, duduk bersama dengan wajah "alim" berusaha beradu ilmu dengan mereka tapi dalam hati aku tertawa terbahak-bahak. Sebegitu seriusnya mereka mengejar nilai demi nilai yang bagus. Kurang lebih seperti itulah teman-teman saya di bangku kuliah dulu yang termasuk dalam kategori mahasiswa studi oriented.
Saya tentu saja tidak memilih jalan itu, saya masih pada pendirian saya yaitu menikmati masa kuliah saya. Saya merupakan orang yang berkepribadian ganda kata teman-teman saya yang manis itu. Saya akan berbeda ketika berada di dekat mereka, dan mereka juga terheran-heran ketika bertemu saya di luar kampus dengan pergaulan yang menurut mereka terlalu berlebihan.
Suatu ketika, saya berkata dengan teman saya yang termasuk dalam golongan anak-anak manis ini (Golongan Study Oriented). Saya memang nakal, saya memang menikmatin hidup dengan lurus-lurus saja, saya tidak hanya belajar di kampus hanya untuk nilai, saya tidak hanya ikut berdiskusi atau membaca buku di sudut-sudut kampus hingga tertidur. Saya menyisihkan waktu untuk belajar beberapa jam, saya menyisihkan waktu untuk bermain dan tertawa, saya menyisihkan waktu untuk berorganisasi, saya menyisihkan waktu untuk mengembangkan minat bakat saya, saya menyisihkan waktu berinteraksi dengan orang-orang yang beragam, menyisihkan waktu pula untuk ibadah, dan juga menyisihkan waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna mungkin. Teman saya hanya mendengarkan dan berpikir sejenak, mulai saat itu teman saya yang study oriented itu mulai menghargai saya.
Melihat kondisi seperti ini, saya berjanji saya akan buktikan kepada mereka bahwa kuliah tidak semata-mata belajar di kampus, membaca buku, berdiskusi, dan lain sebagainya. Hal ini saya buktikan ketika saya akan mengakhiri duduk di bangku kuliah, saya mendapatkan dosen pembimbing yang pintar, dengan materi kajian Tugas Akhir yang menarik, dan tentu saja dengan sangat mudah saya meraihnya.
Kebetulan saat itu Bpk. Dr. Arief Hermanto Dosen Pembimbing saya yang juga sebagai ketua Prodi. Fisika UGM sering berinteraksi dengan saya ketika saya membuat sebuah acara di kampus. Dengan santai dan Non Formal saya menanyakan masalah Tugas Akhir untuk Komputasi Fisika (Kalo gak salah mo di ganti jadi Fisika Komputasional). Saya bertanya, "Pak saya ingin mengerjakan tugas akhir komputasi, tetapi saya lemah di Fisika". Pak Arief menjawab, "Apa kamu bisa buat program animasi? Saya ingin mengembangkan disertasi saya". Percakapan demi percakapan terjadi, hingga hari itu juga saya di janjikan sebuah jurnal untuk bekal pengerjaan TA saya. Sampai pada pembuatan proposal pun saya tidak di persulit sama beliau. Bahkan pengumpulan proposal saya telat 1 hari di bandingkan teman-teman saya yang lain pun karena beliau memberi keringanan waktu. Alhamdulilah saya adalah lulusan kedua bersama teman saya Susi di angkatan saya saat itu setelah Toni teman saya yang kumlaude kurang dari 3,5 tahun. Mulai saat itu, saya dan teman-teman saya yang BANGSAT lainnya di hargai. Saat itu pula sejumlah teman-teman saya yang dulu mengucilkan kami mulai bermain bersama kami, mulai ikut apabila kami pergi keluar kota untuk refreshing, mulai ikut terbahak-bahak bersama kami.
Satu pertanyaan yang terlontar dari dalam hati saya, "Apakah kami seburuk itu?"
Hanya teman-teman yang bisa menilai kami dengan lebih bijak...

Rabu, 31 Oktober 2007

CARAKU MEMILIH MATAKULIAH

Bukan kemunafikan kalau saya tidak menargetkan IPK tinggi semasa kuliah. Jauh di dalam benak dan jiwaku semenjak SMU tertanam prinsip "Nilai Bukanlah Segalanya, belajar bukan untuk nilai". Target nilai IPK saya saat itu adalah 2,75. Bukan nilai yang tinggi, dan bukan pula nilai murahan yang bisa di raih tiap insan. Ini bukan syarat untuk bekal bekerja, bukan syarat yang ditentukan oleh kedua orangtua saya, apalagi syarat yang diharuskan oleh Universitas di mana saya kuliah. Syarat itu adalah target saya, bukan target siapa-siapa, dan bukan target untuk apa-apa. Saya hanya belajar menanamkan tanggung jawab untuk diri saya sendiri.

Alasan-alasan utama saya memilih angka 2.75 adalah:
  1. Karena saya tidak ingin membebankan biaya kuliah lagi kepada orangtua saya.
  2. Karena saya tidak ingin munafik meraih nilai yang tinggi, kalau lebih tinggi dari 2,75 syukur alhamdulilah
  3. Karena saya ingin ada tantangan, tidak sekedar mendapat nilai atau lulus saja.
  4. Saya butuh waktu di luar pendidikan formal saya.

Saat itu saya mengambil jurusan FISIKA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Salah satu jurusan yang mungkin kurang di gemari dan dihargai oleh masyarakat Indonesia. Saya menempuh masa kuliah saya selama kurang dari 4 tahun. Tidak jarang saya mendapatkan nilai jelek seperti mahasiswa lainnya. Ada beberapa matakuliah yang tidak saya senangi, dan saya sering mendapatkan nilai buruk untuk matakuliah yang tidak saya senangi. Saya selalu mempertahankan apa yang saya senangi dan berusaha fairplay untuk matakuliah yang tidak saya senangi. Saya telah mengatur matakuliah apa yang akan saya ambil di semester-semester berikutnya, dan pada semester yang mana saya akan mengambil matakuliah tersebut. Mengingat saya meiliki target maka saya harus punya planing dan tentu saja antisipasi yang sigap. Tiap semester,saya pasti kelabakan menghitung nilai yang sudah terkumpul, dan menargetkan nilai apa yang harus saya raih untuk semester berikutnya.

Saya melakukan perbaikan matakuliah di SP (Semester Pendek). Saya hanya melakukan 1 kali pengulangan matakuliah di semester wajib saya. Saya hanya mengambil 4 matakuliah di SP saat
saya kuliah dulu, 2 matakuliah sejumlah 5 SKS untuk perbaikan, 3 SKS KKN, dan satu matakuliah sejumlah 2 SKS untuk semester depan. Saya hanya mengulang matakuliah yang saya anggap dapat saya ulang dengan harapan dapat diperbaiki nilainya sesuai dengan kemampuan saya, dan saya tidak akan mengulang matakuliah yang memang tidak sanggup saya ulang. Maka dari itu, di transkript nilai saya, ada 2 "Nilai D". Dari sini, saya dapat belajar mengukur diri, dan mencari minat dan bakat saya saat kuliah.

Kuliah bukan semata-mata belajar, ujian, dan dapat nilai bagus bagi saya. Tapi kuliah merupakan tempat untuk mencari pengalaman, baik pendidikan formal dan non formal.