Jumat, 09 November 2007

Berpikir Divergen dan Konvergen

Cara berpikir biasanya tidak diajarkan disekolah. Apa yang harus dipelajari diperjelas melalui penilaian ujian. Sebaliknya, unsur bagaimana berpikir diserahkan kepada kita masing-masing sambil jalan. Biasanya secara tidak sadar orang mengambill pola atau gaya berpikir yang paling disukai dan tetap menggunakan seumur hidup mereka.
Jadi, bagaimana bila kita dapat meningkatkan kinerja berpikir, bukan hanya untuk perorangan, melainkan juga untuk sebuah kelompok? Hasilnya pasti akan sangat hebat.
"Apa yang harus dipikirkan dan apa yang harus diingat adalah cara lama Cara yang baru adalah bagaimana cara berpikir".
Beberapa orang percaya bahwa menerapka terlampau banyak disiplin pendidikan kepada anak-anak yang masih sangat muda akan memberangus potensi mereka dikemudian hari sebagai pemikir dewasa. Mendorong minat yang beragam di bidang musik, seni, dan kegiatan kreatif pada usia dini besar kemungkinan akan menghasilkan otak cerdas yang mampu hidup di dalam lingkungan yang dinamis.

Selasa, 06 November 2007

Study Oriented Vs Anak Bangsat

Saya memasuki dunia kultur yang sangat berbeda ketika menginjakkan kaki di bangku kuliah. Sebelum kuliah saya bersekolah di Bandung, kemudian saya melanjutkan study di Universitas Gadjah Mada pada jurusan Fisika. Fenomena manusia antara Bandung dan Jogjakarta sangat jauh perbedaannya. Irama kota yang santai, sopan, santun, penuh dengan tradisi aseli Indonesia tertanam keras di wajah kota Jogjakarta ini. Jauh halnya dengan Bandung, hidup ala metropolis dengan segala trend yang kerap bermunculan di sana sini.
Tersentak kaget, mungkin iya... Tersentak tertawa di dalam hati juga iya. Proses adaptasi harus tetap di jalankan, mulai dari memandang tingkah laku teman-teman kuliah saya, tutur katanya, cara mereka menanggapi hal yang menurutku tidak tabu menjadi tabu, dan sampai cara mereka menjauhi saya (Mungkin dianggap binatang buas saya ini, hehehehe). Yup, hal itu terjadi begitu saja selama saya menduduki bangku kuliah saya di Jogja. Di jam-jam kosong menunggu jam kuliah berikutnya, biasanya mereka(teman-teman saya yang manis ini) berkumpul dan belajar di sudut-sudut kampus. Sesekali coba kudekati dan membaur sama mereka, tapi mereka begitu selektif untuk memilih teman yang menurut dia mengungtungkan saja. Menguntungkan di sini adalah bisa menjadi guru untuk mata kuliah tertentu misalnya, atau dengan kata lain mempunyai kemampuan otak yang lebih tinggi darinya atau setara untuk berunding bersama. Tapi tidak jarang pula sesekali mereka menyendiri dan berusaha belajar sendiri, hingga tertidur di sudut-sudut kampus. Nah, kalau anda memiliki kategori sebagai berikut:
  1. Ketawa ketiwi di suatu kelompok
  2. Tidak bisa memberikan andil pengetahuan untuk perkuliahan
  3. Punya teman atau organisasi yang membuat anda sibuk
  4. Kerjaan cuman bergaul dan bergaul
  5. dll, banyak siy
Jangan harap anda bisa diterima untuk duduk bareng mereka. Mungkin saya salah satu orang yang memiliki kriteria di atas. Hehehehehehe...
Tapi, ini bukan sebuah masalah besar dalam masa study saya di bangku kuliah. Saya adalah orang yang super iseng. Saya sering ikut-ikutan ngumpul, berusaha masuk dengan mereka, duduk bersama dengan wajah "alim" berusaha beradu ilmu dengan mereka tapi dalam hati aku tertawa terbahak-bahak. Sebegitu seriusnya mereka mengejar nilai demi nilai yang bagus. Kurang lebih seperti itulah teman-teman saya di bangku kuliah dulu yang termasuk dalam kategori mahasiswa studi oriented.
Saya tentu saja tidak memilih jalan itu, saya masih pada pendirian saya yaitu menikmati masa kuliah saya. Saya merupakan orang yang berkepribadian ganda kata teman-teman saya yang manis itu. Saya akan berbeda ketika berada di dekat mereka, dan mereka juga terheran-heran ketika bertemu saya di luar kampus dengan pergaulan yang menurut mereka terlalu berlebihan.
Suatu ketika, saya berkata dengan teman saya yang termasuk dalam golongan anak-anak manis ini (Golongan Study Oriented). Saya memang nakal, saya memang menikmatin hidup dengan lurus-lurus saja, saya tidak hanya belajar di kampus hanya untuk nilai, saya tidak hanya ikut berdiskusi atau membaca buku di sudut-sudut kampus hingga tertidur. Saya menyisihkan waktu untuk belajar beberapa jam, saya menyisihkan waktu untuk bermain dan tertawa, saya menyisihkan waktu untuk berorganisasi, saya menyisihkan waktu untuk mengembangkan minat bakat saya, saya menyisihkan waktu berinteraksi dengan orang-orang yang beragam, menyisihkan waktu pula untuk ibadah, dan juga menyisihkan waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna mungkin. Teman saya hanya mendengarkan dan berpikir sejenak, mulai saat itu teman saya yang study oriented itu mulai menghargai saya.
Melihat kondisi seperti ini, saya berjanji saya akan buktikan kepada mereka bahwa kuliah tidak semata-mata belajar di kampus, membaca buku, berdiskusi, dan lain sebagainya. Hal ini saya buktikan ketika saya akan mengakhiri duduk di bangku kuliah, saya mendapatkan dosen pembimbing yang pintar, dengan materi kajian Tugas Akhir yang menarik, dan tentu saja dengan sangat mudah saya meraihnya.
Kebetulan saat itu Bpk. Dr. Arief Hermanto Dosen Pembimbing saya yang juga sebagai ketua Prodi. Fisika UGM sering berinteraksi dengan saya ketika saya membuat sebuah acara di kampus. Dengan santai dan Non Formal saya menanyakan masalah Tugas Akhir untuk Komputasi Fisika (Kalo gak salah mo di ganti jadi Fisika Komputasional). Saya bertanya, "Pak saya ingin mengerjakan tugas akhir komputasi, tetapi saya lemah di Fisika". Pak Arief menjawab, "Apa kamu bisa buat program animasi? Saya ingin mengembangkan disertasi saya". Percakapan demi percakapan terjadi, hingga hari itu juga saya di janjikan sebuah jurnal untuk bekal pengerjaan TA saya. Sampai pada pembuatan proposal pun saya tidak di persulit sama beliau. Bahkan pengumpulan proposal saya telat 1 hari di bandingkan teman-teman saya yang lain pun karena beliau memberi keringanan waktu. Alhamdulilah saya adalah lulusan kedua bersama teman saya Susi di angkatan saya saat itu setelah Toni teman saya yang kumlaude kurang dari 3,5 tahun. Mulai saat itu, saya dan teman-teman saya yang BANGSAT lainnya di hargai. Saat itu pula sejumlah teman-teman saya yang dulu mengucilkan kami mulai bermain bersama kami, mulai ikut apabila kami pergi keluar kota untuk refreshing, mulai ikut terbahak-bahak bersama kami.
Satu pertanyaan yang terlontar dari dalam hati saya, "Apakah kami seburuk itu?"
Hanya teman-teman yang bisa menilai kami dengan lebih bijak...